Silakan Translate.......

Rabu, 19 Desember 2012

Uang dalam Pandangan Sosiologi


Oleh: Galih Danariyanto

Time is money. Semua orang bekerja mengejar uang, memburu rupiah. Secara perlahan kita sudah terbiasa hidup didampingi uang. Segala sesuatu yang kita inginkan juga dapat dengan mudah kita dapatkan asalkan kita mempunyai uang. Dari kebutuhan sederhana sampai yang mewah hanya bisa didapatkan dengan uang. Uang seakan menjadi hal yang pokok dan utama dalam kehidupan manusia. Bayangkan saja apabila kita tak punya uang sehari saja dan kita tak punya apa-apa untuk makan atau minum? Apakah dengan mempunyai uang banyak masa depan kita juga terjamin?
Saat ini manusia sangat berorientasi pada uang. Uang menjadi berhala baru yang dikejar dan disembah. Persaingan dalam memperoleh uang juga tak kalah kejamnya dari persaingan dalam ”hutan” seperti yang dibayangkan oleh Darwin (survival of the fittest: kemampuan bertahan hidup). Uang menjadi dewa yang mahakuasa: segalanya bisa dibeli; harta maupun manusia. Betapapun besar dan banyaknya uang yang kita dimiliki, kita tidak akan merasa cukup. Di sinilah kemudian orang terus “mengejar” dan “memburu” uang, yang menjadikan kita serakah bahkan terus berusaha
memiliki uang dengan berbagai cara, dari halal sampai tidak halal hanya untuk memenuhi hawa nafsunya dan kepentingannya yang beranekaragam.
Sosiolog kenamaan, John Dewey, mengatakan masyarakat modern semakin hidup dalam kultur/budaya uang. Tatkala uang dijadikan alat tukar yang sah dalam transaksi ekonomi sekitar abad ke-17, saat mulai berakhirnya transaksi ekonomi sistem barter, sejak itu uang menjadi primadona. Muncullah ungkapan uang adalah raja dunia.
Orang umumnya kurang memahami dan memaknai uang secara benar. Uang memiliki arti dan makna dalam dirinya sendiri yaitu sebagai alat yang mempermudah kehidupan manusia dengan menjadi alat tukar atau transaksi dan bukan hanya digadaikan untuk memenuhi hawa nafsu manusia saja. Meningkatnya segala hal menjadi alat tukar umum mengarah pada sikap sinis bahwa segala hal memiliki harga, sehingga apa pun dapat dijual atau dibeli di pasar. Semakin tinggi tingkat kekayaan seseorang, maka semakin tinggi pula kehormatan atau penghargaan yang diberikan masyarakat di sekitarnya.
Karl Marx mengatakan uang merupakan sebuah candu baru. Uang dapat mengubah perilaku hidup manusia, kesetiaan dapat diubah menjadi khianat, cinta menjadi benci, budak menjadi tuan, hamba menjadi raja, buruh menjadi majikan, lawan menjadi sahabat, kebodohan menjadi kepandaian, dan seterusnya. Tetapi uang juga bisa menjadi sumber penderitaan hidup manusia, seperti seorang pemimpin yang meski sangat dihormati, tiba-tiba bisa menjadi sangat dinistakan lantaran melakukan kejahatan berlatarbelakang uang.
Uang dapat menghubungkan kita dengan orang lain, tinggal kita bagaimana menggunakan hubungan tersebut dengan sebijaksana mungkin. Bukan mengenai besar atau kecilnya angka yang tercetak di lembaran rupiah, tetapi sikap moral seseorang untuk saling berbagi dengan sesama yang membuat harga sepeser pun menjadi sangat berarti bagi yang membutuhkan. Ini jelas berbeda dengan makna uang sebagai pemenuh hawa nafsu belaka atau hanya demi kehormatan maupun ketenaran dalam masyarakat.

Tidak ada komentar: