Oleh: Galih
Danariyanto
Time is money. Semua orang
bekerja mengejar uang, memburu rupiah. Secara perlahan kita sudah terbiasa
hidup didampingi uang. Segala sesuatu yang kita inginkan juga dapat dengan
mudah kita dapatkan asalkan kita mempunyai uang. Dari kebutuhan sederhana
sampai yang mewah hanya bisa didapatkan dengan uang. Uang seakan menjadi hal
yang pokok dan utama dalam kehidupan manusia. Bayangkan saja apabila kita tak
punya uang sehari saja dan kita tak punya apa-apa untuk makan atau minum?
Apakah dengan mempunyai uang banyak masa depan kita juga terjamin?
Saat ini manusia sangat berorientasi pada uang.
Uang menjadi berhala baru yang dikejar dan disembah. Persaingan dalam memperoleh uang juga tak kalah
kejamnya dari persaingan dalam ”hutan” seperti yang dibayangkan oleh Darwin
(survival of the fittest: kemampuan bertahan hidup). Uang menjadi dewa yang
mahakuasa: segalanya bisa dibeli; harta maupun manusia. Betapapun besar dan banyaknya uang yang kita dimiliki, kita tidak akan
merasa cukup. Di sinilah kemudian orang terus “mengejar” dan “memburu” uang, yang
menjadikan kita serakah bahkan terus berusaha
memiliki uang dengan berbagai
cara, dari halal sampai tidak halal hanya untuk memenuhi hawa nafsunya dan
kepentingannya yang beranekaragam.
Sosiolog
kenamaan, John Dewey, mengatakan masyarakat modern semakin hidup dalam kultur/budaya
uang. Tatkala uang dijadikan alat tukar yang sah dalam transaksi ekonomi
sekitar abad ke-17, saat mulai berakhirnya transaksi ekonomi sistem barter,
sejak itu uang menjadi primadona. Muncullah ungkapan uang adalah raja dunia.
Orang
umumnya kurang memahami dan memaknai uang secara benar. Uang memiliki arti dan
makna dalam dirinya sendiri yaitu sebagai alat yang mempermudah kehidupan
manusia dengan menjadi alat tukar atau transaksi dan bukan hanya digadaikan
untuk memenuhi hawa nafsu manusia saja. Meningkatnya segala hal menjadi
alat tukar umum mengarah pada sikap sinis bahwa segala hal memiliki harga, sehingga
apa pun dapat dijual atau dibeli di pasar. Semakin tinggi tingkat kekayaan
seseorang, maka semakin tinggi pula kehormatan atau penghargaan yang diberikan
masyarakat di sekitarnya.
Karl Marx mengatakan uang merupakan sebuah candu baru. Uang dapat
mengubah perilaku hidup manusia, kesetiaan dapat diubah menjadi khianat, cinta
menjadi benci, budak menjadi tuan, hamba menjadi raja, buruh menjadi majikan,
lawan menjadi sahabat, kebodohan menjadi kepandaian, dan
seterusnya. Tetapi uang juga bisa menjadi sumber penderitaan hidup
manusia, seperti seorang pemimpin yang meski sangat dihormati, tiba-tiba bisa
menjadi sangat dinistakan lantaran melakukan kejahatan berlatarbelakang uang.
Uang dapat menghubungkan kita dengan orang lain, tinggal kita bagaimana
menggunakan hubungan tersebut dengan sebijaksana mungkin. Bukan mengenai besar
atau kecilnya angka yang tercetak di lembaran rupiah, tetapi sikap moral
seseorang untuk saling berbagi dengan sesama yang membuat harga sepeser pun
menjadi sangat berarti bagi yang membutuhkan. Ini jelas berbeda dengan makna
uang sebagai pemenuh hawa nafsu belaka atau hanya demi kehormatan maupun
ketenaran dalam masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar