Lapisan dasar budaya jawa yang dalam dan meresap sering disebut Kejawen, diterjemahkan sebagai kejawaan atau jawanisme. Akhiran “isme” sangat menguntungkan, karena menyiratkan pengertian bahwa Kejawen adalah suatu ajaran dan praktek. Sebagai falsafah hidup Kejawen cukup luas cakupannya termasuk di dalam teologi, kosmologi, mitologi, metafisika, dan antropologi. Semua segi ini membentuk satu pandangan hidup Orang Jawa, sebagai sebuah sistem pemikiran tentang hubungan sosial meresap kedalam etika dan akal sehat yang mengatur hidup Orang Jawa (Niels Mulder, 1999).
Seperti halnya masyarakat daerah lainnya di Indonesia, masyarakat Jawa
juga menganut beragam agama. Dalam pelaksanaannya untuk agama Islam terdapat dua golongan yaitu penganut murni dan Kejawen atau Abangan. Perbedaannya adalah jika penganut murni maka mereka akan menjalankan kehidupannya berdasarkan tuntunan dalam agama secara murni, sedangkan golongan Kejawen atau Abangan tidak begitu mengutamakan tuntunan dalamagama tersebut tapi dalam agama tersebut tetapi dalam kehidupannya masih menerpakan berbagai ritual Jawa seperti selamatan, ngirim, sesajen, dan sebagainya (Sarjana Hadiatmaja dan Kuswa Endah, 2008).
Pembagian Masyarakat Jawa yang dibuat oleh Clifford Gertz berdasarkan pada penelitian lapangan di Mojokuto, ia telah membagi Orang Jawa menjadi tiga tipe budayawi utama: Abangan, santri, dan priyayi. Ia memberikan ketiga varian religius di antara orang-Orang Jawa sebagai berikut (dalam Zaini Muchtarom, 1988): Abangan yang mewakili sikap menitikberatkan segi-segi sinkretisme Jawa yang menyeluruh dan secara luas menghubungkan dengan unsur-unsur petani di antara penduduk; santri yang mewakili sikap menitikberatkan pada segi-segi Islam dalam sinkretisme tersebut; pada umumnya berhubungan dengan unsur pedagang (maupun juga dengan unsur-unsur tertentu di antara para petani); dan priyayi yang sikapnya menitikberatkan pada segi-segi Hindu dan berhubungan dengan unsur-unsur birokrasi.
Seperti halnya masyarakat daerah lainnya di Indonesia, masyarakat Jawa
juga menganut beragam agama. Dalam pelaksanaannya untuk agama Islam terdapat dua golongan yaitu penganut murni dan Kejawen atau Abangan. Perbedaannya adalah jika penganut murni maka mereka akan menjalankan kehidupannya berdasarkan tuntunan dalam agama secara murni, sedangkan golongan Kejawen atau Abangan tidak begitu mengutamakan tuntunan dalamagama tersebut tapi dalam agama tersebut tetapi dalam kehidupannya masih menerpakan berbagai ritual Jawa seperti selamatan, ngirim, sesajen, dan sebagainya (Sarjana Hadiatmaja dan Kuswa Endah, 2008).
Pembagian Masyarakat Jawa yang dibuat oleh Clifford Gertz berdasarkan pada penelitian lapangan di Mojokuto, ia telah membagi Orang Jawa menjadi tiga tipe budayawi utama: Abangan, santri, dan priyayi. Ia memberikan ketiga varian religius di antara orang-Orang Jawa sebagai berikut (dalam Zaini Muchtarom, 1988): Abangan yang mewakili sikap menitikberatkan segi-segi sinkretisme Jawa yang menyeluruh dan secara luas menghubungkan dengan unsur-unsur petani di antara penduduk; santri yang mewakili sikap menitikberatkan pada segi-segi Islam dalam sinkretisme tersebut; pada umumnya berhubungan dengan unsur pedagang (maupun juga dengan unsur-unsur tertentu di antara para petani); dan priyayi yang sikapnya menitikberatkan pada segi-segi Hindu dan berhubungan dengan unsur-unsur birokrasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar